Page Nav

HIDE

Post Snippets

FALSE
HIDE_BLOG
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Rakyat Muak…!!!

  Ilustrasi. Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia menyampaikan petisi yang bernama "Seruan Kebangsaan Kampus Perjuangan 'Ge...

 

Ilustrasi. Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia menyampaikan petisi yang bernama "Seruan Kebangsaan Kampus Perjuangan 'Genderang UI Bertalu Kembali'” yang berisi sikap mengkritisi terhadap pemerintahan Joko Widodo. (Viva)

Afwan Maksum
Oleh: Afwan Maksum

Kata “Koppig” (baca: kopekh) yang merupakan serapan dari kata Belanda, memiliki arti “keras kepala” dalam Bahasa Indonesia. Jika ditilik di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Koppig memiliki arti tidak mau menurut nasihat orang; tegar tengkuk; kepala batu, merupakan perilaku yang saat ini dipertontonkan secara vulgar oleh seorang Jokowi di satu sisi harus berperan sebagai Kepala Negara yang tugasnya mengelola 280 juta rakyat Indonesia. Di sisi yang lain juga ia ingin berperan sebagai Bapak bagi seorang Gibran, yang sedang mengikuti kontestasi sebagai Calon Wakil Presiden Republik Indonesia berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden.

Berdasarkan testimoni dari berbagai tokoh bangsa yang telah memberikan masukan dan nasihat konstruktif  kepada Jokowi, dan rupanya hanya dianggap angin lalu. Tidak hanya keras kepala saja yang sedang ditunjukkan oleh Jokowi, tapi juga ketidak-konsistenan antara omongan dan perbuatan. 

Diawali pada saat awal masa jabatan sebagai Presiden, Jokowi mengatakan bahwa keluarganya tidak ada satupun boleh duduk di jabatan politik selama Jokowi menjadi Presiden, namun malah memaksa dengan halus agar PDI Perjuangan untuk mendukung anak dan menantunya (Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo, dan Bobby Nasution sebagai Walikota Medan). 

Di masa kampanye Jokowi mengatakan bahwa akan menyediakan 10 juta lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia, yang terjadi malah berbondong-bondong rakyat cina datang bekerja di Indonesia, dari level manajerial hingga tukang sapu. 

Jokowi pernah mengatakan bahwa Gibran belum layak untuk maju menjadi Calon Wakil Presiden, namun beberapa hari kemudian ia mengatakan akan mendukung apapun keputusan anaknya. Jokowi juga pernah mengatakan bahwa aparatur negara harus berlaku netral di dalam menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu), setelahnya malah mengatakan bahwa Presiden boleh melakukan kampanye. 

Bahkan kejadian terakhir yang sangat memprihatinkan dan membuat geram banyak kalangan adalah kejadian di kabupaten Gunungkidul. Aparat yang mengaku tim pengamanan Presiden meminta agar semua bendera PDI Perjuangan yang sudah terpasang agar dicopot, dengan alasan ini merupakan prosedur tetap (protap) pengamanan kepresidenan.

Sebegitu takutnyakah seorang Jokowi dengan Bendera PDI Perjuangan yang selama ini menjadi kendaraannya untuk menduduki jabatan mulai Walikota Solo dua periode, Gubernur DKI Jakarta, hingga dua periode masa jabatan Presiden? 

Yang sangat mengenaskan adalah penganiayaan terhadap pendukung Ganjar-Mahfud yang sedang membentangkan sebuah spanduk selamat datang pada saat kedatangan Jokowi yang berisikan “Selamat datang Pak Jokowi, Kami sudah pintar, Kami pilih Ganjar”, rakyat kecil tersebut cedera akibat mendapatkan bogem mentah oleh oknum aparat pengamanan kepresidenan karena menurut protap mereka kegiatan tersebut dapat mengancam keamanan Jokowi sebagai Presiden.

Sebegitu paranoidnyakah Jokowi terhadap sebuah spanduk? Tidak ada alasan apapun yang membolehkan aparat pengamanan Presiden menganiaya rakyat kecil hanya karena sebuah spanduk!! Seluruh anggaran Presiden hingga aparat pengamanannya dibiayai oleh negara lewat pajak rakyat, dan seenaknya rakyat dapat kalian aniaya dengan alasan yang dibuat-buat?

Jokowi yang dulu memiliki program Revolusi Mental diharapkan mayoritas orang yang memilihnya menjadi tokoh panutan yang mampu membawa angin segar perubahan terhadap kehidupan berbangsa karena keteladanan, kesederhanaan dan kepemimpinan yang dapat mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Namun di masa akhir jabatannya, watak dan perilakunya berubah drastis, menjadi pemimpin yang keras kepala, menakutkan rakyat, sampai menghalalkan segala cara untuk memenangkan seorang Gibran sang anak tercinta.

Beberapa Menteri kabinet Jokowi yang juga kebetulan juga sebagai ketua umum Partai Politik (Parpol) pendukung Prabowo-Gibran tanpa malu-malu menyampaikan informasi yang tidak lengkap bahkan cenderung berbohong kepada rakyat, bahwa bantuan sosial (bansos) yang berupa beras dan lain-lain merupakan bantuan dari Presiden Jokowi, padahal bansos tersebut berasal dari pajak rakyat atau pinjaman yang akan ditanggung oleh rakyat yang sudah ditetapkan lewat APBN  

Tentunya, ada aksi pasti ada reaksi. Rakyat Indonesia—yang baru menikmati alam demokrasi selama 25 tahun, dengan menumpahkan air mata, darah hingga mengorbankan nyawa, hanya agar rakyat Indonesia dapat merebut kembali udara demokrasi yang sangat diidamkan—tidak mau dan tidak rela hanya berdiam diri, melihat aksi seorang Jokowi, yang datang dan menikmati alam demokrasi dan ndilalah malah mau menunggangi alam demokrasi saat ini demi memenuhi syahwat berkuasa dia dan keluarganya, membuat seluruh komponen Rakyat Indonesia bergerak bereaksi melakukan protes penolakan hingga mengecam praktik brutal yang diperlihatkan oleh Jokowi saat ini.

Dimulai dari aksi penolakan oleh tokoh-tokoh bangsa, kemudian ribuan mahasiswa yang turun ke jalan melakukan protes, dan yang terakhir gelombang protes dari para ‘begawan’ berbagai universitas besar di Indonesia yang meminta agar pemerintah menggunakan hati nuraninya di dalam memposisikan dirinya dalam perhelatan Pemilu rakyat, yang seharusnya pemerintah harus berlaku Jujur dan Adil, serta juga berasaskan Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber Jurdil). Mereka berasal dari Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Andalas, Universitas Hassanudin, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Padjajaran dan nantinya akan disusul seluruh sivitas akademika dari seluruh Indonesia.

Gelombang protes para guru besar ini tidak boleh dianggap remeh oleh Jokowi, karena jika para Guru Besar sudah ‘keluar’ dari kampusnya, maka itulah puncak kemuakan rakyat, merupakan cikal bakal gelombang Tsunami yang akan menggulung siapapun.


* Penulis adalah Aktivis Reformasi '98.

Tidak ada komentar

Thank you for your kind comment, we really appreciate it.