Badak Jawa ( Rhinoceros sondaicus ) adalah salah satu dari lima spesies badak yang tersisa di dunia dan saat ini hanya ditemukan di semena...
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) adalah salah satu dari lima spesies badak yang tersisa di dunia dan saat ini hanya ditemukan di semenanjung Ujung Kulon, Provinsi Banten, Indonesia.
Badak Jawa merupakan spesies paling langka dari kelimanya dan masuk dalam Daftar Merah Badan Konservasi Dunia (IUCN) sebagai satu tingkat di bawah kepunahan.
Empat jenis badak lainnya adalah badak sumatera dari Indonesia, badak India, badak putih dari Afrika, dan badak hitam dari Afrika.
Populasi badak Jawa diperkirakan sekitar 75 pada Agustus 2021, meningkat dibandingkan dengan jumlah yang tercatat pada tahun-tahun sebelumnya. Selama periode 1999-2005, Unit Pengawasan dan Perlindungan Badak (RMPU) menyatakan bahwa populasi mereka diperkirakan 40-50.
Meskipun laju pertumbuhan populasi badak Jawa relatif baik saat ini, upaya lebih lanjut harus dilakukan melalui rencana aksi untuk memastikan kelangsungan hidup populasi badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon.
Andries Hoogerwerf, seorang naturalis dan konservasionis dari Belanda, menulis dalam buku “Udjung Kulon: Negeri Badak Jawa Terakhir”, bahwa populasi badak Jawa meningkat sejak tahun 1937, meskipun kegiatan inventarisasi dan sensus baru dilakukan secara rutin pada tahun 1967.
Sebaran badak jawa di taman nasional ini lebih terkonsentrasi di bagian selatan Semenanjung Ujung Kulon, seperti di Cibandawoh, Cikeusik, Citadahan, dan Cibunar yang kesemuanya memiliki karakteristik topografi dataran rendah, dengan hutan hujan tropis dan perairan yang melimpah. sumber.
Distribusi populasi di Taman Nasional Ujung Kulon sesuai dengan analisis tim Pemantau Badak Jawa (MBJ) di Taman Nasional Ujung Kulon yang menentukan data dari jejak kaki di tanah dan rekaman kamera trail.
Morfologi
Dalam buku Teknik Konservasi Badak Indonesia yang diterbitkan oleh World Wild Fund for Nature (WWF-Indonesia), badak jawa merupakan mamalia besar, dengan postur mirip hewan purba, dengan tinggi hingga bahu berukuran 128 hingga 175 cm; panjang badan dari ujung moncong sampai ke ujung ekor, 392 cm; dan berat badan mencapai 1.600 sampai 2.280 kg.
Kulit mereka sangat tebal, sekitar 25-30 mm. Mereka memiliki lipatan kulit dari bagian bawah leher ke atas, berdekatan dengan bahu. Bentuk lipatan atas punggung terlihat seperti pelana, termasuk lipatan dekat pangkal ekor dan bagian atas kaki belakang.
Badak jantan memiliki satu cula yang dapat tumbuh hingga 27 cm dan biasanya berwarna abu-abu tua atau hitam, sedangkan badak betina tidak memilikinya.
Badak Jawa hampir mirip dengan badak India yang hanya memiliki satu cula namun berukuran lebih besar. Karena mereka hanya memiliki satu tanduk, Marco Polo, seorang penjelajah Italia, menyebut mereka Unicorn.
Dalam kajian ilmiah yang diterbitkan Institut Pertanian Bogor (IPB) bertajuk “Penggunaan Ruang Habitat oleh Badak Jawa”, rata-rata lebar kaki badak jawa adalah 27-28 cm. Ukuran jejak kaki tersebut menjadi acuan Balai Besar Taman Nasional untuk mengidentifikasi umur badak jawa.
“Usia badak harus diidentifikasi lebih lanjut oleh tim taman nasional. Namun, (lebar kaki) dapat menjadi panduan kami untuk memperkirakan apakah badak itu masih anak-anak, remaja, atau dewasa,” Mita Sutisna, anggota lepas dari Hal ini diungkapkan oleh Badan Pengawasan Badak Jawa di Balai Taman Nasional Ujung Kulon.
Perilaku
Sebagian besar badak jawa adalah makhluk soliter, kecuali saat musim kawin dan membesarkan anak. Selama masa kawin, mereka membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari dua badak Jawa, meskipun kadang-kadang tiga, ditambah dengan anak.
Bulan kawin badak jawa adalah sekitar bulan Agustus. Namun penelitian tentang masa kawin badak jawa masih minim karena informasi dan penelitian yang sangat terbatas, sehingga para ahli menggunakan badak india sebagai panduan untuk menginterpretasikan perilaku badak jawa.
Baik badak jawa jantan maupun betina memiliki rentang jelajah 10-20 km per hari. Di dalam wilayah jelajah, ditemukan jejak badak, baik permanen maupun tidak permanen.
Masing-masing jalur memiliki fungsinya masing-masing, biasanya menjadi jalur penghubung ke rumpang (tempat makan), berendam, mandi, dan istirahat. Meskipun badak jawa sering aktif pada pagi, siang, dan malam hari, namun terkadang ditemukan aktif pada siang hari.
Badak Jawa memiliki kegemaran berenang di lumpur. Selain untuk menjaga suhu tubuhnya, mereka juga suka berendam di lumpur untuk menghindari parasit dan nyamuk yang menempel di tubuhnya. Mereka juga suka beristirahat di genangan air. Badak perlu mengolesi lumpur di tubuh mereka untuk menyerap panas.
Biasanya, genangan air yang mereka celupkan dulunya digunakan oleh babi hutan. Setelah ditinggalkan dan tidak lagi dimanfaatkan oleh babi hutan, badak jawa mengambil alih genangan air dengan menginjak-injaknya untuk memperbesar ukurannya. Ukuran kubangan badak jawa sekitar 7x5 meter, dengan kedalaman 50-125 cm.
Mereka membutuhkan banyak air untuk mandi dan membersihkan lumpur di kulit mereka. Dengan demikian, kulit badak akan sehat dan bebas dari retakan yang dapat menyebarkan infeksi penyakit.
“Saat musim hujan, badak jarang mandi di sungai, karena air di tutupan hutan melimpah. Badak hanya terlihat melintas dari satu daerah ke daerah lain melalui sungai, jadi tidak mandi,” kata Sutisna.
Badak yang tersisa
Bahkan tidak ada satu pun kebun binatang di dunia yang memiliki koleksi badak jawa. Saat ini, populasi mereka terkonsentrasi hanya di Ujung Kulon dan tidak di tempat lain.
Populasi mereka dulu tersebar di pegunungan Jawa. Tercatat mereka pernah tinggal di Asia Tenggara, China, hingga India.
Pada 2010, badak liar terakhir di Vietnam ditembak mati oleh pemburu liar. Badak di Vietnam diyakini sebagai subspesies badak Jawa terakhir di daratan Asia. Pada tahun 1989, laporan diterima tentang populasi kecil badak Jawa di Vietnam. Pada tahun 1993, diperkirakan ada delapan hingga 12 badak jawa, namun perlahan-lahan menghilang satu per satu.
Menurut catatan Taman Nasional Ujung Kulon, pada tahun 1700-an, badak Jawa mendiami beberapa daerah pegunungan dataran rendah di Pulau Jawa. Jumlahnya banyak, bahkan sampai pemerintah kolonial menyebutnya hama karena merusak pertanian dan perkebunan.
Pemerintah Belanda kemudian mengadakan kompetisi dengan menghadiahi siapa saja yang mampu membunuh badak. Dalam waktu singkat, ratusan badak kehilangan nyawa karena senjata dan jerat.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Prof. Harini Muntasib, mengatakan perburuan merupakan bencana bagi populasi badak jawa. Selain dianggap hama, pemburu juga mencari culanya.
Ancaman dari manusia menyebabkan badak jawa melarikan diri ke bagian hutan yang lebih dalam hingga akhirnya yang tersisa dari populasinya adalah di Ujung Kulon. Keberadaan badak di masa lalu di Jawa ditandai dengan sisipan citranya dalam penamaan arah atau tempat.
“Semua yang namanya Cibadak dulunya ada badak. (Menurut) catatan (daerah yang) saya petakan, yang terjauh adalah daerah Ngawen. Setelah ditelusuri, Ngawen itu letaknya di sekitar Klaten. Ngawen Ngawi? Mungkin peneliti Belanda. tulis nama yang berbeda, jadi sekitar Jawa Tengah sampai Jawa Timur ada," kata Harini.
Mungkin masyarakat Bandung sudah tidak asing lagi dengan Jalan Cibadak, Rumah Sakit Rancabadak yang sekarang menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin, dan patung badak putih di Taman Balai Kota Bandung. Patung badak putih diresmikan pada tahun 1981 oleh mantan Walikota Bandung, Husen Wangsaatmadja.
Tugu Badak Putih di halaman Balaikota bukan sebagai simbol daerah, melainkan ikon kerinduan Kota Bandung akan kelestarian alam yang tertata, sehat, tanpa kekurangan air dan pepohonan yang rindang. (Ant)
Tidak ada komentar
Thank you for your kind comment, we really appreciate it.