llustrasi. Lukisan “Gatotkaca Melawan Pasukan Sekipu” karya Suryadi 'Pak Paden'. Afwan Maksum Oleh: Afwan Maksum Kontestasi Pemilu s...
llustrasi. Lukisan “Gatotkaca Melawan Pasukan Sekipu” karya Suryadi 'Pak Paden'. |
Kontestasi Pemilu sudah dimulai pada tanggal 28 November lalu. Terdapat tiga pasang calon Presiden dan Wakilnya yang didukung Koalisi partai masing-masing. Setiap kontestan memiliki cerita dan dinamika masing-masing, namun yang paling fenomenal kontestan nomor 2, menjadi trending topic dari beberapa bulan yang lalu hingga hari ini, terutama calon Wakil Presidennya, Gibran Rakabuming Raka yang berkebetulan merupakan anak dari Presiden saat ini, Joko Widodo, yang prosesnya penuh drama (meminjam bahasa bapaknya) dan mencederai proses Demokrasi.
Lembaga negara sekelas Mahkamah Konstitusi, yang merupakan gerbang penjaga terakhir konstitusi Indonesia, dirusak sedemikian rupa demi memenuhi ambisi dari Gibran Rakabuming Raka, sehingga tingkat kepercayaan Masyarakat terhadap Lembaga Mahkamah Konstitusi mengalami titik paling rendah di dalam Sejarah berdirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi tersebut. Ditambah Reaksi negatif masyarakat yang begitu massive terhadap pencalonan Gibran pun, tidak menyurutkan sang orang tua untuk terus mendorong ambisi anaknya untuk menjadi calon wakil Presiden dari Prabowo Subianto. Kemudian terdapat kejadian pencopotan baliho dan intimidasi terhadap pendukung Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, Ganjar-Mahfud, selain itu juga secara terang benderang adanya pengerahan pejabat setingkat menteri hingga Lembaga Perangkat Desa, yang demi hanya untuk mendukung Paslon Prabowo-Gibran.
Kenetralitasan aparat Kepolisian juga semakin dipertanyakan semenjak kejadian adanya aparat kepolisian yang menyatroni kantor DPC PDI Perjuangan kota Solo hingga mendatangi rumah salah satu mahasiswa yang menyatakan kekecewaan terhadap pemerintahan Jokowi. Walaupun Presiden Jokowi di depan media massa menyatakan bahwa dia akan bersikap netral, tapi dari apa yang dicontohkan seorang Jokowi, apa yang diucapkan dengan yang dilakukan selalu berbanding terbalik, membuat masyarakat semakin tidak mempercayai atas apa yang telah disampaikan oleh sang Presiden.
Padahal sebagai orang yang berasal dari suku Jawa, yang jelas selalu mengedepankan, dan sangat menjunjung tinggi etika, kejujuran, tata krama dan sopan santun di dalam berperilaku, tidak tampak dari apa yang telah kasat mata dilakukan seorang Jokowi dengan alasan mendukung dan merestui si anak dengan alasan karena berperan sebagai orang tua. Walaupun sebelumnya, dari mulutnya sendiri terlontar bahwa Gibran belum pantas untuk dimajukan mejadi seorang calon Wakil Presiden. Jokowi yang dilahirkan dari Rahim demokrasi dan dihasilkan dari era reformasi, dulunya menjadi tumpuan harapan dari seluruh rakyat Indonesia, yang sudah bersusah payah mengorbankan darah, airmata bahkan nyawa dalam meruntuhkan rezim Orde Baru, kemudian malah menjadi aktor utama dalam membangkitkan Neo Orde Baru dengan mendirikan dinasti politik di Republik Ini hanya agar bisa melanjutkan kekuasaannya, mengagetkan seluruh rakyat hingga PDI Perjuangan yang merupakan partai pendukung utama Jokowi, mulai dari menjadi Walikota Solo dua periode, Gubernur DKI Jakarta hingga dua kali maju menjadi Presiden.
Dari mulai Ulama, budayawan, para Guru Besar, hingga para Mahasiswa yang menyampaikan dan menumpahkan rasa kecewa dan kekesalannya melalui berbagai cara, lewat dialog diberbagai acara televisi swasta, podcast, seminar, hingga demonstrasi Mahasiswa atas perilaku yang diperlihatkan Jokowi. Akumulasi kejengkelan dan kekecewaan terhadap perilaku Jokowi ini juga ditunjukkan oleh ketua umum PDI Perjuangan, Ibu Megawati Soekarno Putri, pidato berapi-api yang dilakukan beliau beberapa hari yang lalu, belum pernah terjadi pasca tumbangnya Orde Baru.
Patut dimengerti bagaimana rasa jengkel yang diperlihatkan oleh Ibu Mega, karena bukan sedikit pengorbanan yang dilakukan oleh PDI Perjuangan demi menjadikan seorang Jokowi. Padahal di internal PDI Perjuangan sempat terdengar istilah, Partai pemenang tapi rasa oposisi, karena ketidakpedulian Jokowi terhadap PDI Perjuangan, jika dibandingkan era Presiden SBY dalam memberikan kursi menteri kepada Partai Demokrat, itu pun Ibu Mega sebagai ketua umum masih berdiam diri melihat ketidakadilan terhadap partai yang dipimpinnya demi menjaga keberlangsungan pemerintahan Jokowi. Namun semuanya ada batasnya, Ketika Jokowi mulai melanggar batas, dengan mengacak-acak konstitusi demi hanya untuk melanggengkan kekuasaannya, di saat itulah panggilan jiwa seorang Negarawan Ibu Megawati muncul, dengan mengobarkan semangat perlawanan terhadap siapapun yang akan menghancurkan demokrasi di Indonesia yang sudah susah payah dibangun selama ini.
Pidato Ibu Mega tidak hanya menghidupkan api suluh Perjuangan bagi orang-orang yang hadir dan yang mendengar, bahkan juga mampu membangkitkan arwah para pejuang demokrasi yang telah berjasa hingga mengorbankan nyawanya demi bisa terwujudnya Demokrasi di Indonesia. Pidato Ibu Mega mampu menyatukan setiap elemen Masyarakat, baik generasi tua yang tadinya ingin berniat pensiun dan menikmati hari tua, namun terpanggil Kembali harus berjuang, hingga menggelorakan semangat bagi generasi muda yang diwakili para Mahasiswa, yang tidak bisa hanya berdiam diri karena demokrasi Ibu Pertiwi dirusak oleh orang yang haus akan kekuasaan. Tidak ada satupun yang bisa dicontohkan Jokowi dari drama-drama yang beliau sajikan, Jokowi hanya mempertontonkan bagaimana cara cepat anak muda menjadi berkuasa dengan mengandalkan fasilitas orang tua, tanpa mau berproses, sehingga terlihat kualitas seorang Gibran sangat jauh dari pantas untuk jadi seorang Walikota sekalipun, apa lagi menjadi seorang Wakil Presiden dan tidak mungkin Jokowi tidak mengetahui kemampuan sang anak.
Sebagai orang Jawa, harusnya Jokowi mau mencontoh seorang Werkudara alias Bima, seorang ksatria yang merupakan bagian dari keluarga Pandawa Lima, bagaimana seorang Bima harus memasukkan anaknya, Gatotkaca ke Kawah Candradimuka, sebelum menjadikan Gatotkaca seoarang raja di Kerajaan Pringgodani, di Kawah Candradimuka itulah Gatotkaca di didik, ditempa menjadi ksatria mumpuni, berotot kawat tulang besi, memiliki kecerdasan dan welas-asih seorang pemimpin. Atas nama rasa cinta tanah air yang begitu dalam, Pada perang Bharatayudha, seorang Gatotkaca mau mengorbankan dirinya demi menyelamatkan sang Paman, Arjuna, agar sang Paman dapat memenangkan peperangan tersebut. Kebalikan dengan Gibran, haus akan kekuasaan, sehingga Gibran mampu mengorbankan karir sang Paman Usman demi ambisinya, dan sebenarnya Jokowi bisa mencegah agar itu tidak terjadi.
Apa yang sedang diatraksikan oleh Jokowi dan keluarga malah mengingatkan kepada Judul dari tulisan di atas, Petruk Jadi Raja, seorang Petruk yang berasal dari keluarga punakawan, bukan dari keluarga ksatria, karena keahliannya dapat mempesona orang-orang sehingga diangkat jadi Raja, namun karena Petruk merasa jumawa dan berfikir ternyata memang enak jadi Raja, maka segala macam aturan ditabrak dengan brutal tanpa menghiraukan pakem-pakem dan dasar kerajaan demi memuaskan kekuasaannya, sehingga meluluhlantakkan kerajaannya sendiri.
Cukup sudah lakon Petruk jadi raja ini, kita tutup sejarah kelam ini dengan memenangkan orang baik dan benar, mengutip perkataan Romo Magniz Suseno; “Pemilu itu bukan karena memilih Pemimpin yang baik, tapi karena mencegah orang buruk untuk berkuasa.” MERDEKA!!!
* Penulis adalah Aktivis Reformasi '98.
Tidak ada komentar
Thank you for your kind comment, we really appreciate it.