Page Nav

HIDE

Post Snippets

FALSE
HIDE_BLOG
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Komnas HAM: Rancangan KUHP harus menjunjung tinggi aspek HAM

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro memberikan keterangan pers di Kantor Komnas HAM Jakarta, Senin 5 Desember 2022. ( dok: TvOne ) POKROL.co...

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro memberikan keterangan pers di Kantor Komnas HAM Jakarta, Senin 5 Desember 2022. (dok: TvOne)

POKROL.com, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memastikan RKUHP menjunjung tinggi aspek HAM.

“Komnas HAM berharap perubahan dan perbaikan sistem hukum pidana tetap (tetap) menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat jumpa pers di Jakarta, Senin 5 Desember 2022.

Atnike mengungkapkan, pihaknya telah memberikan masukan kepada DPR RI terkait pasal-pasal tentang HAM yang tidak disetujui oleh Komnas HAM RI.

Komnas HAM telah menyoroti beberapa aspek dalam draf versi terbaru, katanya. Misalnya, tindak pidana pelanggaran HAM berat dalam kitab undang-undang sebagian besar diadopsi dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Prinsip-prinsip yang berlaku untuk pelanggaran HAM berat, yang disebut KUHAP sebagai kejahatan berat terhadap HAM, tidak sama dengan kejahatan biasa meskipun dalam KUHAP disebut kejahatan khusus, jelasnya.

Dikatakannya, pelanggaran HAM berat dicakup oleh asas retroaktif dan asas tidak ada kadaluwarsa. Jika kode etik tidak mencantumkan kedua prinsip tersebut, maka 15 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselesaikan penyidikannya dapat dianggap tidak ada, atau dikatakan tidak pernah terjadi.

“Bahkan, kami masih bisa menemukan korban dari insiden ini,” tambahnya.

Menurut analisis Komnas, ada kecenderungan pengurangan pidana penjara dalam RUU KUHP dibandingkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Misalnya, untuk kejahatan genosida, UU Pengadilan HAM menetapkan hukuman penjara minimal 10 tahun dan maksimal 25 tahun.

"RKUHP masih mencantumkan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah tindak pidana (rancangan pasal 67 dan 98), hal ini bertentangan dengan pasal 28 (A) UUD 1945, pasal 9 UU Nomor 9 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik," ungkap Atnike.

Sementara itu, dalam kode etik, hukuman minimalnya adalah 5 tahun. Hal itu tertuang dalam Pasal 598 RKUHP versi 30 November 2022.

Selanjutnya, untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, UU Pengadilan HAM menetapkan hukuman penjara minimal 10 tahun dan maksimal 25 tahun. Namun, dalam rancangan KUHP, hukuman penjara tergantung pada pelanggaran yang dituduhkan dan dapat berkisar antara 5 sampai 20 tahun. Hal itu tertuang dalam Pasal 599 Rancangan KUHP.

Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi terbaru, hukuman maksimal hanya 20 tahun sehingga sifat khusus delik (kejahatan luar biasa) pelanggaran HAM berat diturunkan menjadi tindak pidana biasa.

Menurut Atnike, efek penjeraan itu ada banyak cara, tetapi kita menyadari di berbagai negara upaya penghapusan hukuman mati itu menyangkut persoalan sosiologis, kultural, politik yang tidak dengan mudah bisa diputuskan.

“Dengan demikian, harapan atau cita-cita hukum untuk menciptakan efek jera (aspek retributif) dan tidak mengulangi tindakan menjadi tidak jelas,” ujarnya.

Pengaturan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP bisa meringankan beban kejahatan ini; kekhawatirannya adalah ketika konsekuensi kejahatan luar biasa menjadi sama dengan kejahatan biasa, katanya.

Hal ini mengandung risiko mengaburkan sifat kejahatan dan kemungkinan akan menimbulkan kesulitan dalam memastikan penuntutan atau penyelesaian kejahatan yang efektif, yang akan mencakup ketidakjelasan hukum atau ketidakpastian dengan instrumen hukum lain yang memuat pengaturan tentang kejahatan di luar KUHP dan berpotensi celah, dia memberi tahu. (Ant)

Tidak ada komentar

Thank you for your kind comment, we really appreciate it.