Reinhard Hutapea. Oleh: Reinhard Hutapea* Seminggu yang lalu, tepatnya Sabtu, 25 Maret 2017, Uni Eropa genap berusia 60 tahun. Usia yang se...
Reinhard Hutapea. |
Oleh: Reinhard Hutapea*
Seminggu yang lalu, tepatnya Sabtu, 25 Maret 2017, Uni Eropa genap berusia 60 tahun. Usia yang seharusnya telah membawa persekutuan (integration) itu semakin dewasa. Namun sebagaimana kita saksikan hari-hari ini, salah satu anggotanya, yakni Inggris telah keluar dari organisasi tersebut. Keluar sebagai konsekuensi referendum yang dilakukan setahun yang lalu (“Brexit”).
Selain itu kebijakan Trump yang protektif, antiperdagangan bebas, dan antipersekutuan internasional lainnya. Ditambah (plus) bangkitnya kekuatan-kekuatan politik nasionalistis di masing-masing anggotanya, membuat organisasi ini semakin hari semakin krisis eksistensi dan masa depannya mulai dipertanyakan.
Integrasi Ideal
Dipertanyakan, karena tidak sesuai dengan tujuan semula, yakni menjadi satu integrasi yang kuat di mana masing-masing anggotanya akan semakin makmur dan sejahtera. Sebagaimana rencana pendirinya—Robert Schuman dari Prancis—integrasi yang dibangun atas kepentingan ekonomi ini akan merembes ke bidang-bidang lain, seperti politik dan kebudayaan.
Schuman begitu yakin bahwa penyatuan Eropa akan terwujud, meski tidak sekali jadi. Dengan perlahan, namun pasti akan mencapai cita-citanya dengan satu syarat, yakni solidaritas de facto. Solidaritas yang tahun 80-an melahirkan agenda ambisius yang bernama “Pasar Tunggal Eropa” The Single European Act (SEA)—sekarang dalam bentuk European Union (EU)—dengan tujuan menyatukan perekonomian Eropa (Euro Zone).
Dalam sejarah atau perjalanannya memang ide-ide fungsional Schuman mendapat tempat. Dimulai dengan kerja sama dalam bidang ekonomi, yakni batubara dan baja, berlanjut ke bidang-bidang lain, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, semakin bertambahnya anggota, menyatunya mata uang (Euro), terbentuknya parlemen bersama dan lain-lainnya.
Begitu menakjubkan sehingga menimbulkan optimisme sekaligus pesimisme bagi berbagai negara. Di Jepang dan Amerika Serikat (AS), integrasi ini dikecam sebagai Benteng Eropa (Fortress Europe), karena dianggap akan melakukan proteksi ke dalam—ke anggotanya—sebaliknya keluar, bersikap diskriminatif.
Atas dasar kekhawatiran demikianlah, berbagai negara latah membuat integrasi atau blok-blok baru, sebagaimana yang kita saksikan kemudian, seperti Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), North American Free Trade Agreement (NAFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA) di Asia tenggara, Council for Mutual Economic Assistence (COMECON) di Eropa Timur, dan sebagainya.
Namun sebagaimana hukum besi kehidupan, tiada yang abadi di dunia ini. Integrasi Eropa dalam perjalanannya menyimpan benih-benih krisis yang tidak terendus sebelumnya. Benih-benih yang juga tidak terjangkau teori-teori yang mendasarinya. Bruce Russett yang mengedepankan teori “kedekatan sosio-kultural”, sangat yakin integrasi akan terus maju, sebab negara-negara yang terintegrasi di dalamnya, satu sama lain sangat dekat. Baik dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan.
Begitu pula Ernst Haas dengan pendekatan fungsionalnya. Haas sangat yakin akan sukses, mengingat kelahirannya yang didasari kerja-kerja konkret yang dibutuhkan setiap anggota. Yang selanjutnya konon akan melimpah ke bidang-bidang lain (spillover), sehingga lama-kelamaan akan menjadi suatu kekuatan permanen. Kekuatan yang mungkin analog dengan federal, kesatuan, dan sebagainya bentuk-bentuk negara berdaulat
Oleng dan implikasinya ke Indonesia
Teori tinggal teori, harapan tinggal harapan, realitanya Uni Eropa telah mengalami krisis eksistensi. Krisis yang sangat serius, yang ibarat kapal yang sedang berlayar menuju tujuan, oleng dalam perjalanannya. Apakah oleng karena beban yang terlalu berat, bocor, atau terjebak badai, atau mungkin karena ketiganya perlu penelitian lebih lanjut.
Yang pasti integrasi ini sedang mengalami terpaan berat karena masalah-masalah yang membelenggunya, seperti keluarnya Inggris, tampilnya gerakan populis di setiap anggotanya, tekanan Trump yang antipasar bebas atau persekutuan internasional, tingginya tingkat pengangguran usia muda di Yunani dan Spanyol, utang dan stagnasi perekonomian di Italia, serta pukulan berat terkait isu imigran dan mata uang euro.
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang masih berapi-api membangun AFTA/MEA, G-20, dan Indian Ocean Rim Association (IORA) saat ini? Tidakkah belajar dari kasus Eropa ini?. (Pcom)
* Staf pengajar FISIP, Ilmu Komunikasi Universitas Darma Agung (UDA) Medan. Staf ahli DPR RI 2000-2009.
Tidak ada komentar
Thank you for your kind comment, we really appreciate it.